Inovasi produk merupakan suatu proses yang berusaha memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada. Permasalahan yang sering terjadi di dalam bisnis adalah produk yang bagus tetapi mahal atau produk yang murah tetapi tidak berkualitas.
Sebagai
pelaku usaha, kita harus peka terhadap keinginan client kita yang kadang sulit
kita terima. Keinginan yang paling umum adalah client menginginkan produk yang
bagus dengan harga yang murah. Untuk menciptakan produk yang berkualitas dengan
harga yang terjangkau kita harus jeli melihat berbagai peluang untuk
mewujudkannya.
Pada dasarnya
terdapat keterkaitan antara posisi bersaing dengan strategi bisnis, di mana
setiap perusahaan menempati posisi bersaing yang berbeda-beda. Untuk itu setiap
perusahaan harus mengetahui posisi bersaing masing-masing sehingga dapat
menentukan strategi pemasaran yang tepat. Badan Pusat statistik (BPS)
menentukan karakteristik usaha mikro yaitu memiliki jumlah tenaga kerja
berkisar antara 1-4 orang dan usaha kecil memiliki tenaga kerja berkisar antara
5-19 orang.
Fandy Tjiptono (2001) membagi
posisi bersaing perusahaan dan karakteristiknya sebagai berikut
Pertama, Pemimpin pasar (Market
leader) adalah yang memiliki pangsa pasar yang terbesar (40%) dalam pasar
produk yang relevan, lebih unggul dari perusahaan lain dalam hal pengenalan
produk baru, cakupan distribusi, dan intensitas promosi, dan Merupakan pusat
orientasi para pesaing (diserang, ditiru, atau dijauhi).
Kedua, Penantang pasar (Market
challenger) adalah yang memiliki pangsa pasar 30%, selalu berusaha untuk
mencari kelemahan pemimpin pasar dan menyerangnya baik secara langsung maupun
tidak langsung, memusatkan upaya mereka pada tindakan mengambil alih
perusahaan-perusahaan yang lemah.
Ketiga, Pengikut pasar (Market
follower) adalah pedagang yang selalu mencoba untuk menonjolkan ciri
khasnya kepada pasar sasaran seperti lokasi, pelayanan, keunggulan produk, dan
sebagainya, memilih untuk meniru produk atau strategi pemimpin pasar dan penantang
pasar daripada menyerang mereka, biasanya memperoleh laba yang tinggi karena
tidak menanggung beban pengeluaran yang besar untuk inovasi.
keempat, Perelung pasar (Market
nicher) pedagang yang biasanya berspesialisasi secara geografis, merupakan
perusahaan yang daya beli dan ukurannya cukup besar agar dapat menguntungkan,
memiliki potensi untuk berkembang.
Inovasi menjadi kunci
keberhasilan untuk meningkatkan daya saing bisnis (Shapiro 2002). Artinya,
usaha kecil perlu melakukan inovasi agar dapat mendesain organisasinya lebih
fleksibel, yang memungkinkan beradaptasi terhadap perubahan orientasi pasar.
Kondisi itulah yang memungkinkan usaha kecil dapat bersaing dengan usaha besar
dan serbuan produk impor. Usaha kecil dapat dengan mudah beradaptasi dengan
merespon perubahan keinginan pelanggan, jalur distribusi, dan kemampuan
berinovasi (Feigenbaum & Karnani 1991).
Pengembangan Sektor UKM
Pengembangan terhadap sektor
swasta merupakan suatu hal yang tidak diragukan lagi perlu untuk dilakukan. UKM
memiliki peran penting dalam pengembangan usaha di Indonesia. UKM juga
merupakan cikal bakal dari tumbuhnya usaha besar. “Hampir semua usaha besar
berawal dari UKM.
Satu hal yang perlu diingat
dalam pengembangan UKM adalah bahwa langkah ini tidak semata-mata merupakan
langkah yang harus diambil oleh Pemerintah dan hanya menjadi tanggung jawab
Pemerintah. Pihak UKM sendiri sebagai pihak yang dikembangkan, dapat
mengayunkan langkah bersama-sama dengan Pemerintah. Selain Pemerintah dan UKM,
peran dari sektor Perbankan juga sangat penting terkait dengan segala hal
mengenai pendanaan, terutama dari sisi pemberian pinjaman atau penetapan
kebijakan perbankan. Lebih jauh lagi, terkait dengan ketersediaan dana atau
modal, peran dari para investor baik itu dari dalam maupun luar negeri, tidak
dapat pula kita kesampingkan.
Pemerintah pada intinya memiliki
kewajiban untuk turut memecahkan tiga hal masalah klasik yang kerap kali
menerpa UKM, yakni akses pasar, modal, dan teknologi yang selama ini kerap
menjadi pembicaraan di seminar atau konferensi. Secara keseluruhan, terdapat
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pengembangan terhadap unit
usaha UKM, antara lain kondisi kerja, promosi usaha baru, akses informasi,
akses pembiayaan, akses pasar, peningkatan kualitas produk dan SDM,
ketersediaan layanan pengembangan usaha, pengembangan cluster, jaringan bisnis,
dan kompetisi.
Perlu disadari, UKM berada dalam
suatu lingkungan yang kompleks dan dinamis. Jadi, upaya mengembangkan UKM tidak
banyak berarti bila tidak mempertimbangkan pembangunan (khususnya ekonomi)
lebih luas. Konsep pembangunan yang dilaksanakan akan membentuk aturan main
bagi pelaku usaha (termasuk UKM) sehingga upaya pengembangan UKM tidak hanya
bisa dilaksanakan secara parsial, melainkan harus terintegrasi dengan
pembangunan ekonomi nasional dan dilaksanakan secara berkesinambungan.
Kebijakan ekonomi (terutama pengembangan dunia usaha) yang ditempuh selama ini
belum menjadikan ikatan kuat bagi terciptanya keterkaitan antara usaha besar
dan UKM.
Saat ini, Kementerian Koperasi
dan Usaha Kecil Menengah berencana untuk menciptakan 20 juta usaha kecil
menengah baru tahun 2020. Tahun 2020 adalah masa yang menjanjikan begitu banyak
peluang karena di tahun tersebut akan terwujud apa yang dimimpikan para pemimpin
ASEAN yang tertuang dalam Bali Concord II. Suatu komunitas ekonomi ASEAN, yang
peredaran produk-produk barang dan jasanya tidak lagi dibatasi batas negara,
akan terwujud. Kondisi ini membawa sisi positif sekaligus negatif bagi UKM.
Menjadi positif apabila produk dan jasa UKM mampu bersaing dengan produk dan
jasa dari negara-negara ASEAN lainnya, namun akan menjadi negatif apabila
sebaliknya. Untuk itu, kiranya penting bila pemerintah mendesain program yang
jelas dan tepat sasaran serta mencanangkan penciptaan 20 juta UKM sebagai
program nasional.
Permasalahan yang Dihadapi UKM
Pada umumnya, permasalahan yang
dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM), antara lain meliputi:
A. Faktor Internal
I.
Kurangnya Permodalan dan Terbatasnya Akses Pembiayaan
Permodalan merupakan faktor
utama yang diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. Kurangnya
permodalan UKM, oleh karena pada umumnya usaha kecil dan menengah merupakan
usaha perorangan atau perusahaan yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan
modal dari si pemilik yang jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman
dari bank atau lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh karena persyaratan
secara administratif dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi.
Persyaratan yang menjadi hambatan terbesar bagi UKM adalah adanya ketentuan
mengenai agunan karena tidak semua UKM memiliki harta yang memadai dan cukup
untuk dijadikan agunan.
Terkait dengan hal ini, UKM juga
menjumpai kesulitan dalam hal akses terhadap sumber pembiayaan. Selama ini yang
cukup familiar dengan mereka adalah mekanisme pembiayaan yang disediakan oleh
bank dimana disyaratkan adanya agunan. Terhadap akses pembiayaan lainnya
seperti investasi, sebagian besar dari mereka belum memiliki akses untuk itu.
Dari sisi investasi sendiri, masih terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan apabila memang gerbang investasi hendak dibuka untuk UKM, antara
lain kebijakan, jangka waktu, pajak, peraturan, perlakuan, hak atas tanah,
infrastruktur, dan iklim usaha.
Untuk
menciptakan produk yang berkualitas dengan harga yang terjangkau kita harus
jeli melihat berbagai peluang untuk mewujudkannya. Peluang-peluang yang mungkin
terjadi adalah
- Mencoba
mengurangi biaya produksi
Ini bisa dilakukan misalnya menambah kuantitas pembelian bahan baku untuk mendapatkan potongan harga. Hal lain adalah melakukan outsourcing ke perusahaan lain untuk mencegah biaya sdm yang lebih tinggi. Atau kita juga bisa mencari celah-celah yang bisa mengoptimalkan proses produksi - Memberikan
layanan lain yang bisa memberikan subsidi harga.
Contoh yang terkenal adalah produsen kamera. Harga kamera akan terus turun tetapi harga lensa tetap mahal.Pada lini ini mungkin untung penjualan kamera sedikit, tetapi untung dari penjualan lensa cukup tinggi sehingga bisa menopang penjualan kamera.
II.
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara
tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan
kualitas SDM usaha kecil baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan
dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya,
sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu
dengan keterbatasan kualitas SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk
mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk
yang dihasilkannya.
1. Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi
Pasar
Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha
keluarga, mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi
pasar yang rendah, ditambah lagi produk yang dihasilkan jumlahnya sangat
terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha
besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan
teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik.
2. Mentalitas Pengusaha UKM
Hal penting yang seringkali pula terlupakan dalam
setiap pembahasan mengenai UKM, yaitu semangat entrepreneurship para pengusaha
UKM itu sendiri. Semangat yang dimaksud disini, antara lain kesediaan terus
berinovasi, ulet tanpa menyerah, mau berkorban serta semangat ingin mengambil
risiko. Suasana pedesaan yang menjadi latar belakang dari UKM seringkali
memiliki andil juga dalam membentuk kinerja. Sebagai contoh, ritme kerja UKM di
daerah berjalan dengan santai dan kurang aktif sehingga seringkali menjadi
penyebab hilangnya kesempatan-kesempatan yang ada.
3. Kurangnya Transparansi
Kurangnya transparansi antara generasi awal
pembangun UKM tersebut terhadap generasi selanjutnya. Banyak informasi dan
jaringan yang disembunyikan dan tidak diberitahukan kepada pihak yang
selanjutnya menjalankan usaha tersebut sehingga hal ini menimbulkan kesulitan
bagi generasi penerus dalam mengembangkan usahanya.
B. Faktor Eksternal
1. Iklim Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif
Upaya pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
dari tahun ke tahun selalu dimonitor dan dievaluasi perkembangannya dalam hal
kontribusinya terhadap penciptaan produk domestik brutto (PDB), penyerapan
tenaga kerja, ekspor dan perkembangan pelaku usahanya serta keberadaan
investasi usaha kecil dan menengah melalui pembentukan modal tetap brutto
(investasi). Keseluruhan indikator ekonomi makro tersebut selalu dijadikan
acuan dalam penyusunan kebijakan pemberdayaan UKM serta menjadi indikator
keberhasilan pelaksanaan kebijakan yang telah dilaksanakan pada tahun
sebelumnya.
Kebijaksanaan Pemerintah untuk menumbuhkembangkan
UKM, meskipun dari tahun ke tahun terus disempurnakan, namun dirasakan belum
sepenuhnya kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan
yang kurang sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dan menengah dengan
pengusaha-pengusaha besar.
Kendala lain yang dihadapi oleh UKM adalah
mendapatkan perijinan untuk menjalankan usaha mereka. Keluhan yang seringkali
terdengar mengenai banyaknya prosedur yang harus diikuti dengan biaya yang
tidak murah, ditambah lagi dengan jangka waktu yang lama. Hal ini sedikit
banyak terkait dengan kebijakan perekonomian Pemerintah yang dinilai tidak
memihak pihak kecil seperti UKM tetapi lebih mengakomodir kepentingan dari para
pengusaha besar.
2. Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang
mereka miliki juga tidak cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan
usahanya sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, tak jarang UKM kesulitan
dalam memperoleh tempat untuk menjalankan usahanya yang disebabkan karena
mahalnya harga sewa atau tempat yang ada kurang strategis.
3. Pungutan Liar
Praktek pungutan tidak resmi atau lebih dikenal
dengan pungutan liar menjadi salah satu kendala juga bagi UKM karena menambah
pengeluaran yang tidak sedikit. Hal ini tidak hanya terjadi sekali namun dapat
berulang kali secara periodik, misalnya setiap minggu atau setiap bulan.
4. Implikasi Otonomi Daerah
Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004,
kewenangan daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat
setempat. Perubahan sistem ini akan mempunyai implikasi terhadap pelaku bisnis
kecil dan menengah berupa pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada UKM. Jika
kondisi ini tidak segera dibenahi maka akan menurunkan daya saing UKM.
Disamping itu, semangat kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan kondisi
yang kurang menarik bagi pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya di
daerah tersebut.
5. Implikasi Perdagangan Bebas
Sebagaimana diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku
Tahun 2003 dan APEC Tahun 2020 berimplikasi luas terhadap usaha kecil dan
menengah untuk bersaing dalam perdagangan bebas. Dalam hal ini, mau tidak mau
UKM dituntut untuk melakukan proses produksi dengan produktif dan efisien,
serta dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan frekuensi pasar global dengan
standar kualitas seperti isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14.000),
dan isu Hak Asasi Manusia (HAM) serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering
digunakan secara tidak fair oleh negara maju sebagai hambatan (Non Tariff
Barrier for Trade). Untuk itu, UKM perlu mempersiapkan diri agar mampu bersaing
baik secara keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif.
6. Sifat Produk dengan Ketahanan Pendek
Sebagian besar produk industri kecil memiliki ciri
atau karakteristik sebagai produk-produk dan kerajinan-kerajian dengan
ketahanan yang pendek. Dengan kata lain, produk-produk yang dihasilkan UKM
Indonesia mudah rusak dan tidak tahan lama.
7. Terbatasnya Akses Pasar
Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk
yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan secara kompetitif baik di pasar nasional
maupun internasional.
8. Terbatasnya Akses Informasi
Selain akses pembiayaan, UKM juga menemui kesulitan
dalam hal akses terhadap informasi. Minimnya informasi yang diketahui oleh UKM,
sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap kompetisi dari produk ataupun jasa
dari unit usaha UKM dengan produk lain dalam hal kualitas. Efek dari hal ini
adalah tidak mampunya produk dan jasa sebagai hasil dari UKM untuk menembus
pasar ekspor. Namun, di sisi lain, terdapat pula produk atau jasa yang
berpotensial untuk bertarung di pasar internasional karena tidak memiliki jalur
ataupun akses terhadap pasar tersebut, pada akhirnya hanya beredar di pasar
domestik.
Langkah yang Sudah Ditempuh
Sesungguhnya pemerintah telah banyak mengeluarkan
kebijakan untuk pemberdayaan UKM, terutama lewat kredit bersubsidi dan bantuan
teknis. Kredit program untuk pengembangan UKM bahkan dilakukan sejak 1974.
Kredit program pertama UKM, Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja
Permanen (KMKP), yang menyediakan kredit investasi dan modal kerja permanen,
dengan masa pelunasan hingga 10 tahun, dan suku bunga bersubsidi.
Setelah deregulasi perbankan pada 1988, kredit UKM
dengan bunga bersubsidi secara berangsur dihentikan, diganti dengan kredit bank
komersial. Selain itu, donor internasional juga menyusun kredit program
investasi bagi UKM dalam mata uang rupiah. Antara 1990 dan 2000, Bank Indonesia
mendanai berbagai kredit program dengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI), yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu Kredit Usaha Tani
(KUT), Kredit Pemilikan Rumah Sederhana/Sangat Sederhana (KPRS/SS), dan Kredit
Usaha Kecil dan Mikro yang disalurkan melalui koperasi dan bank perkreditan
rakyat. Selain itu, NPWP sebagai prasyarat pengajuan kredit di Perbankan juga
telah dihapuskan, dimana hal ini memberikan peluang dan kesempatan yang lebih
besar bagi kita untuk mengakses modal dari sisi perbankan.
Selain peran dari Pemerintah, dunia akademisi,
lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga penelitian, juga telah melakukan
beberapa kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan UKM. Salah satu
diantaranya adalah program GTZ-RED yang diadakan atas dukungan
GOPA/Swisscontact yang telah berjalan sejak tahun 2003. Program ini bergerak
langsung ke daerah-daerah dengan menggunakan metode enabling environment dengan
fokus pada Business Climate Survey (BCS) dan Regulatory Impact Assessment (RIA)
yang dilakukan oleh Technical Assisstance (TA). Tim TA ini dimotori oleh Center
for Micro and Small Enterprise Dynamics (CEMSED) Universitas Satya Wacana. Tim
ini telah melakukan survey, pelatihan, workshop terhadap UKM di daerah-daerah,
menciptakan jaringan dengan seluruh pihak terkait UKM termasuk Pemerintah
Daerah, serta membuat daftar Peraturan Daerah yang perlu untuk diperbaiki.
Langkah yang Dapat Ditempuh
Dengan mencermati permasalahan yang dihadapi oleh
UKM dan langkah-langkah yang selama ini telah ditempuh, maka kedepannya, perlu
diupayakan hal-hal sebagai berikut:
1. Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif
Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya iklim
yang kondusif antara lain dengan mengusahakan ketenteraman dan keamanan
berusaha serta penyederhanaan prosedur perijinan usaha, keringanan pajak dan
sebagainya.
2. Bantuan Permodalan
Pemerintah perlu memperluas skema kredit khusus
dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan bagi UKM, untuk membantu
peningkatan permodalannya, baik itu melalui sektor jasa finansial formal,
sektor jasa finansial informal, skema penjaminan, leasing dan dana modal
ventura. Pembiayaan untuk UKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) yang ada maupun non bank. Lembaga Keuangan Mikro bank antara Lain: BRI
unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Sampai saat ini, BRI memiliki sekitar 4.000 unit
yang tersebar diseluruh Indonesia. Dari kedua LKM ini sudah tercatat sebanyak
8.500 unit yang melayani UKM. Untuk itu perlu mendorong pengembangan LKM agar
dapat berjalan dengan baik, karena selama ini LKM non koperasi memilki
kesulitan dalam legitimasi operasionalnya.
3. Perlindungan Usaha
Jenis-jenis usaha tertentu, terutama jenis usaha
tradisional yang merupakan usaha golongan ekonomi lemah, harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintah, baik itu melalui undang-undang maupun peraturan
pemerintah yang bermuara kepada saling menguntungkan (win-win solution).
4. Pengembangan Kemitraan
Perlu dikembangkan kemitraan yang saling membantu
antar UKM, atau antara UKM dengan pengusaha besar di dalam negeri maupun di
luar negeri, untuk menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha. Selain itu, juga
untuk memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan
demikian, UKM akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan pelaku bisnis
lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.
5. Pelatihan
Pemerintah perlu meningkatkan pelatihan bagi UKM
baik dalam aspek kewiraswastaan, manajemen, administrasi dan pengetahuan serta
keterampilannya dalam pengembangan usahanya. Selain itu, juga perlu diberi
kesempatan untuk menerapkan hasil pelatihan di lapangan untuk mempraktekkan
teori melalui pengembangan kemitraan rintisan.
6. Membentuk Lembaga Khusus
Perlu dibangun suatu lembaga yang khusus
bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan semua kegiatan yang berkaitan dengan
upaya penumbuhkembangan UKM dan juga berfungsi untuk mencari solusi dalam rangka
mengatasi permasalahan baik internal maupun eksternal yang dihadapi oleh UKM.
7. Memantapkan Asosiasi
Asosiasi yang telah ada perlu diperkuat, untuk
meningkatkan perannya antara lain dalam pengembangan jaringan informasi usaha
yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan usaha bagi anggotanya.
8. Mengembangkan Promosi
Guna lebih mempercepat proses kemitraan antara UKM
dengan usaha besar diperlukan media khusus dalam upaya mempromosikan
produk-produk yang dihasilkan. Disamping itu, perlu juga diadakan talk show
antara asosiasi dengan mitra usahanya.
9. Mengembangkan Kerjasama yang Setara
Perlu adanya kerjasama atau koordinasi yang serasi
antara pemerintah dengan dunia usaha (UKM) untuk menginventarisir berbagai
isu-isu mutakhir yang terkait dengan perkembangan usaha.
10. Mengembangkan Sarana dan Prasarana
Perlu adanya pengalokasian tempat usaha bagi UKM di
tempat-tempat yang strategis sehingga dapat menambah potensi berkembang bagi
UKM tersebut.
Manajemen
yang kurang baik dan tidak diaplikasikan secara profesional menjadi salah satu
alasan kenapa koperasi di Indonesia tidak berjalan sesuai harapan. Andai tata
kelola koperasi di Indonesia dilakukan dengan baik dan profesional, bukan tidak
mungkin kesejahteraan jutaan masyarakat Indonesia akan meningkat. Negara-negara
lain telah membuktikan bahwa koperasi mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya. Sangat tidak ekuivalent jika Indonesia yang menyebut koperasi
secara khusus koperasi dalam konstitusinya tetapi perkembangan koperasi di
Indonesia tidak sebaik yang ada di negara-negara lain.
Masyarakat
kita begitu terlihat sangat minim pengetahuan akan koperasi, padahal pendidikan
koperasi sudah ditanamkan pada pelajar Indonesia sejak mereka duduk dibangku
sekolah dasar. Kata koperasi terlihat sangat asing bagi masyarakat dengan
tingkat kesibukan dan aktifitas yang tinggi seperti kota Jakarta, Anggapan yang
kurang baik tentang koperasi yang masih mengadopsi pengelolaan yang tradisional
membuat koperasi lama-kelamaan larut dalam kebesaran nama perusahaan-perusahaan
umum yang ada di dalam Indonesia terlebih lagi di luar negeri.
Faktor yang sangat
dominant bagi terhambatnya pemasaran di dalam memasarkan koperasi di Indonesia
tidak lain dan tidak bukan adalah permasalahan minimnya dana, Namun lebih dari
itu adalah hal lain yang harus dikoreksi dari pengelolaan koperasi yang belum
baik di berbagai koperasi yang ada. Pengaturan manajemen yang ada di dalam
koperasipun membuat koperasi tidak mampu memasarkan produk dan hasil usahanya
dengan baik, faktor lain ialah kurangnya para pelaku usaha koperasi dalam
membangun jaringan baik melalui birokrasi pemerintahan daerah maupun pusat,
padahal negara Republik Indonesia memilki Kementerian Koperasi dan UMKM.
Kurangnya sumber daya manusia yang kompeten dalam pendidikan koperasi juga
menjadi kendala yang harus diselesaikan. Sumber daya manusia yang baik mampu
meningkatkan potensi usaha yang besar bagi pembangunan dan kemajuan koperasi di
Indonesia. Kesadaran akan memasarkan koperasi membuat stagnasi terjadi dari
berbagai koperasi yang tersebar di Seluruh Indonesia.
Kita Ambil
sebagian Contoh dari suatu koperasi susu yang cukup besar di Indonesia,
Koperasi tersebut bernama koperasi susu “Nasional” yang beberapa tahun ini
terlihat hilir mudik di beberapa ruas jalan di Jakarta, bogor, bekasi, dan
sekitarnya yang menjual sebungkus susu plastic dengan harga Rp.2.500 dengan
berbagai rasa. Koperasi tersebut ternyata telah memulai debutnya dalam dunia
bisnis dengan berbagai hambatan yang menghadang beberapa tahun silam. Sebagian
besar warga masyarakat kita ternyata tidak mengetahui bahwa produk susu
Nasional merupakan suatu item yang dihasilkan oleh sebuah badan usaha yang
bernama koperasi, yang diketahui oleh para konsumen susu tersebut adalah produk
yang mereka beli berasal dari sebuah perusahaan besar yang memang focus pada
bidang pembuatan susu. Memang sungguh Ironi bila kita membandingkan koperasi
susu di Indonesia dengan salah satu produk susu lain yang diciptakan oleh
sebuah koperasi dengan merk dagang yang tidak dipungkiri lagi dapat menembus
pasar Internasional mancanegara yaitu koperasi susu “Campina”.
Dari Hal ini
begitu terlihat pada sisi Pemasaran dalam mempromosikan koperasi kepada seluruh
konsumen untuk meraih pangsa pasar terlihat kurang digalakkan, padahal
Pemasaran yang baik dapat memunculkan citra positif yang baik pada diri
koperasi sendiri. Refleksi dari Koperasi Susu Campina yang berpusat diBelanda
ternyata begitu hebat pengelolaan yang dilakukan oleh para pengurus dan anggota
koperasi susu tersebut.
Strategi branding atau promosi yang dilakukan
Campina dilakukan mulai dari bagian yang sangat penting dan mendasar dari
produksi susu ini yaitu menghasilkan produk bermutu yang menjadi persyaratan
yang tidak bisa ditawar. Kualitas susu dijaga mulai dari diladang dimana petani
susu menjadi focus pengembangan dan pelayanan. Kemampuan para petani yang
heterogenitas namun bervisi sama menjadikan koperasi tersebut berkembang
sebagai sarana agrikultur dan ekowisata yang berprospek sangat menguntungkan.
Maka tidak ada kata main-main dalam hal kualitas produk yang akan ditawarkan
kepada anggota, dan konsumen.
Kemampuan
koperasi untuk menjamin pelayanan kepada anggotanya seperti pengumpulan susu
dari satu tempat ketempat lain menjadi terkoneksi dengan baik. Sarana
transportasi penyaluran produk dengan armada yang efisien, komplit, dan
berteknologi yang canggih memunculkan suatu kenyamanan pada para petani agar
tidak bersusah payah untuk melakukan transfer susu dari satu negara ke Negara
yang lain. Koperasi Campina ternyata turut memasukkan program CSR (Corporate
Social Responsibility) menjadi salah satu strategi Branding yang sangat baik.
Kampanye efisiensi pemakaian air, olah limbah, transparasi informasi, hingga
pemberdayaan masyarakat, menjadi program rutin yang selalu dilakukan oleh
Campina untuk tetap bertahan dihati para konsumennya hingga saat ini.
Betapa
pentingnya pemasaran bagi kemajuan suatu koperasi tidaklah boleh dianggap
remeh, maka Sangatlah Bijak ketika para pelaku ekonomi terutama pengelola
koperasi mengadopsi nilai-nilai positif yang terinternalisasikan dalam koperasi
lain yang ada di luar Indonesia Untuk dapat mengimbangi derasnya persaingan
global dalam dunia usaha dan tentunya kita berharap agar koperasi dapat
mengembalikan nilai-nilai fundamental sebagi soko guru perekonomian nasional di
Indonesia segera terwujud.
REFERENSI
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar